Selasa, 06 November 2012

Golden Wing, Band Palembang Tempo Dulu



Di era tahun 1960-an tidak banyak dikenal kelompok musik di Indonesia yang merekam lagu-lagu mereka sendiri dan me-release album-nya ke tengah khalayak. Sebagian besar kelompok musik pada waktu itu hanya menjadi kelompok musik pengiring para penyanyi tunggal, pada masa ini dikenal nama-nama kelompok musik seperti Zaenal Combo, Arulan, Empat Nada, Panca Nada, Eka Sapta dan sebagainya. Masa ini memang masa keemasan para penyanyi tunggal. Memang ada sedikit perkecualian, yakni pada kelompok musik Koes Bersaudara dan Eka Sapta (yang merekam lagu-lagu tanpa syair/instrumentalia). 

 Album Golden Wing Mutiara Palembang (1974) Foto : http://rateyourmusic.com/
Pada masa itu, di kota Palembang tidak banyak kelompok musik yang eksis. Maklum, mendirikan band bukan perkara mudah, untuk ini diperlukan biaya yang mahal — khususnya untuk membeli peralatan musik. Apalagi di Palembang tidak ada tempat untuk menyewa peralatan band, seperti yang dapat ditemui di kota-kota besar di pulau Jawa. Pada pertengahan tahun 1960-an, di Palembang dikenal tiga kelompok musik yang bagus dan memiliki peralatan yang cukup mewah untuk ukuran waktu itu, yakni Kerangga Combo,  Octarina dan Rheniara. Ketiga kelompok musik ini sudah menggunakan peralatan musik dan sound system merk Fender dan Hofner.

Memasuki paruh kedua tahun 1960-an mulai bermunculan kelompok-kelompok musik elit pesaing Kerangga Combo, Octarina dan Rheniara. Perusahaan pelayaran PT. Pelni mendirikan kelompok musik yang diberi nama Nada Samudra dan Pertamina mendirikan kelompok musik yang bernama Kuda Laut. Karena dicukongi oleh dua perusahaan besar, tidak heran apabila kedua kelompok musik ini memiliki peralatan yang mewah. Tapi sama halnya di tempat-tempat lain, kelompok-kelompok musik Palembang ini hanya eksis sebagai band pengiring para penyanyi solo. Mereka tidak pernah merekam dan merilis album sendiri, meskipun mereka juga punya stock lagu-lagu ciptaan sendiri.

Album Senyum Harapan (1975)  foto : madrotter-treasure-hunt
Di bawah bayang-bayang kelompok-kelompok musik elit di atas, di Palembang pada tahun 1960-an juga tumbuh banyak kelompok musik lapis kedua dan ketiga. Kelompok-kelompok musik kelas ini, kebanyakan menggunakan peralatan musik yang lebih rendah mutunya, yakni peralatan musik buatan dalam negeri atau paling banter buatan Jepang. Salah satu kelompok musik yang kemudian menjadi embryo kelompok musik besar di Palembang adalah kelompok musik Black Stones yang bermarkas di Lorong Batu Item, jalan Kapten A. Rivai Palembang. Black Stones ini di awaki antara lain oleh : Fit Kien (lead guitar); Bakar (Bass Guitar); Karel Cassidy (rhythm guitar), dan Ismet Soewondo (lead vocal).

Pada waktu yang hampir bersamaan, sekitar tahun 1968, Batalyon Zipur (Zeni Tempur) Palembang juga menyediakan peralatan band buatan dalam negeri dan merekrut beberapa pemain Black Stones untuk mendirikan kelompok musik yang diberi nama Band Pionir. Pemain band Pionir ini terdiri antara lain : Fit Kien (Gitar Utama); Bakar (gitar bass); Karel Cassidy (gitar pengiring dan vokal); Musiardanis/Ferdinand Tuyu (drums), dan Ismet Soewondo (lead vocal). Selain dari menyediakan peralatan musik, Yon Zipur Palembang (yang waktu itu dikomandani oleh Mayor Rustandi) juga menyediakan peralatan radio siaran, yang mengudara dengan nama Suara Pramuka.

Pada akhir tahun 1970 kelompok band Pionir ini bubar karena sebagian besar personilnya memilih untuk melanjutkan pendidikan, misalnya : Musiardanis pindah ke Yogya; Ferdinand Tuyu pindah ke Jakarta, dan Ismet Soewondo lebih mengutamakan kuliahnya di Fakultas Tehnik Unsri. Ketiga anggota lainnya (Fit Kien, Karel dan Bakar) tetap bertahan di Band Black Stones. Namun hal ini tidak lama, sebuah pabrik kecap di Palembang, yakni pabrik kecap Tong Hong, membeli peralatan musik dan merekrut Fit Kien dan Karel Cassidy. Era kelompok musik Golden Wing dimulai dari saat ini.

 

Band Golden Wing Palembang generasi pertama ini masih berbau band pengiring, era rekaman lagu kelompok-kelompok musik belum lagi dimulai. Golden Wing generasi pertama diawaki oleh pemain-pemain antara lain : Fit Kien (kemudian berganti nama menjadi Piter Kenn) pada lead guitar; Kun Lung (Bass Guitar); Tarno (drums), dan Karel Cassidy (kemudian berganti nama menjadi Karel Simon) bertugas sebagai pemain gitar pengiring dan penyanyi utama.

Sekitar tahun 1972 atau 1973 personil Golden Wing mengalami perombakan, beberapa pemain diganti dan awak band ini menjadi terdiri dari : Piter Kenn; Kun Lung (ganti nama menjadi Iksan); Carel Simon; Dedi Mantra (keyboard), dan Victor Eky (drums). Pada tahun 1973, kelompok-kelompok musik mulai merekam lagu-lagu mereka sendiri. Kita tentu ingat, mulai tahun ini bermunculan band-band tenar dengan lagu-lagu mereka sendiri, seperti : Rollies; Rhapsodia; Aka; Mercy’s; Panbers; Band Bentoel; Favourites Group, dan sebagainya.

Pada tahun 1974, Golden Wing Palembang meluncurkan album pertama mereka yang diberi label Mutiara Palembang. Beberapa lagu dalam album ini menjadi hit, antara lain lagu : Mutiara Palembang; Di Mana; Give Me, dan Hanny. Pada tahun 1975, Golden Wing meluncurkan sebuah album yang berisikan lagu-lagu pop melayu. Dalam album ini mulai dinyanyikan sebuah lagu pop daerah Sumsel yang diracik secara apik berjudul Sebambangan. Pada album ini, awak Golden Wing sudah dengan formasi baru, yakni : Piter Kenn pada gitar utama; Areng Widodo (berasal dari Yogya) pada bass; Carel Simon/lead vocal; Dedi Mantra (keyboard), dan seorang pemain drum baru. Album pop melayu ini boleh dikatakan merupakan album terakhir Golden Wing, karena setelah itu Carel Simon bersama-sama dengan isterinya, Hera Sofyan, dan S. Tarno mendirikan kelompok musik No Wing, yang mengkhususkan diri merekam lagu-lagu pop daerah Sumbagsel.

Download lagu Golden Wing :  palembang di waktu malam. 
                                               Dimana
                                               Lain-Lain

Sumber tulisan : H. Musiardanis di palembangkito.multiply.com

Museum SMB II 1947 - 1950

Museum SMB II 1947 - 1950

Museum SMB II 1947 - 1950

Kawasan Internasional Plaza dan Sekitarnya

Bioskop Internasional yang sekarang menjadi Internasional Plaza, Apotik Kinol yang sudah menjadi Supermaket Marathon, Toko sepatu Bata juga tampak di antara jajaran bangunan ini sumber : Facebook

Foto yang satu ini di perkirakan pada tahun 1965 - 1970 an dimana lokasi yang di ambil adalah di jalan Jenderal Sudirman tampak diantara jajaran gedung tersebut antara lain :

Bioskop Internasional (sekarang menjadi Internasional Plaza), di bioskop ini dibagi kelas. Untuk paling depan didekat layar adalah kelas III, makin atas maka kelaspun makin tinggi, hingga yang kelas yang paling tinggi saat itu di Balkon. Di bioskop ini pernah diadakan  konser musik undergound THE PEELS yang di iringi oleh band asli Palembang “The Golden Wing’.

 Rumah Makan Kejora (Sekarang Martabak HAR). Uniknya  Di RM Kejora ini siapa yang makan di lantai atas, gulai dan nasinya “ditarik” menggunakan  bandul keatas, tidak di hidangkan dengan tangan seperti yang kita sering lihat di rumah makan padang saat ini, dan di atas sudah ada orang yang menunggu untuk mengambil gulai dan nasi tersebut, dan lucunya pernah kejadian bandul itu lepas sehingga nasi dan gulai jatuh berantakan. 

Toko Sepatu Bata dan Apotik Kinol (sekarang Supermarket Marathon). Apotik Kinol ini merupakan apotik yang cukup terkenal pada saat itu, di sebelahnya ada toko kain INDIA pindahan dari jalan TENGKURUK karena terkena pengusuran Jembatan MUSI, tetapi ada juga apotik lain yaitu yang berjarak 2 toko yang menghebokan saat itu yaitu Apotik “Perdani” yang di milik oleh  HAMID KEMANG Tokoh PKI SUMSEL, pada zaman itu banyak yang demo dengan melempar batu dan melakukan perusahakan terhadap apotik tersebut, sehingga  pihak KODAM lah yang melakukan penyitaan pada apotik tersebut.

Boom 7 Ulu Palembang 1947 1950

Boom kapal Marrie 7 Ulu Palembang 1947 Foto : Palmboom.Divie.NL

kapal marie kapal penyeberangan yang menghubungkan seberang ulu dan seberang ilir sebelum tahun 1963, foto ini diambil pada tahun 1947.

Foto Boom atau dermaga di kawasan 10 ulu ini sudah tidak ada lagi pada saat ini di karenakan menjadi bagian dari pembangunan jembatan Ampera, pada saat itu kapal marrie merupakan salah satu transportasi penghubung antara seberang ilir dan seberang ulu, jembatan pun yang di miliki baru jembatan Ogan (kertapati) yang di bangun oleh pemerintah kolonial Belanda. 

Ada dua jenis angkutan yang ada di sungai musi yaitu kapal marrie (perahu roda lambung) dan perahu tambangan, untuk perahu tambangan sendiri hanya bisa mengangkut perorangan dalam jumlah sedikit sedangkan, kapal marrie (kapal roda lambung) bisa mengangkut banyak penumpang berikut kedaraan baik roda 2 maupun roda 4 , seperti kapal feri pada saat ini. Deramaga seperti ini selain di 7 ulu juga terdapat di kawasan 10 Ulu, 16 ulu, di pasar 16 ilir, kertapati dan tangga buntung tetapi seiring perkembangan pembangunan jembatan Ampera maka boom/ dermaga kapal marrie ini juga tidak di gunakan lagi.

Kerusuhan Mei 1998 Palembang - 14 Tahun "Sang History Kelam Bangsa Ini"

Kondisi Mei 1998 di Jalan Masjid Lama artikel Sripo ( Sumber : http://kawangkoan.multiply.com/ )

Tulisan yang pernah saya buat di tahun 2008 saat 10 tahun kerusuhan Mei 1998
-----------------------------------------------------
Tengoklah kembali ke tahun 1998 maka anda akan berpikir berapa banyak manusia Indonesia yang masih berpikir tentang besarnya pengorbanan bangsa dan negara. Bayangkan saja ibu kota negara hancur lebur karena kerusuhan terbesar abad 20 yang diduga telah dirancang sebelumnya, dilanjutkan dengan pertempuran yang terjadi adalah antara mahasiswa tambah sebagian warga negara melawan tentara tambah polisi huru hara dan Brimob tambah Pamswakarsa ciptaan Wiranto. Lalu siapa yang masih memikirkan korban pasca semua itu? 


Kami tidak ingin menjadi pahlawan kesiangan tapi kami ingin mereka yang gugur karena peristiwa itu menjadi Pahlawan. Tidak pandang mereka mahasiswa, bukan mahasiswa, pribumi bukan pribumi, anak pejabat atau anak jalanan. Kematian mereka menjadi duka negara ini (seharusnya) dan kami di sini untuk selalu mengingatkan bahwa darah yang tertetes tidak dapat terlupakan. Kehadiran kami untuk mendidik generasi mendatang supaya sejarah kelam tidak berulang dan tidak melupakan Pahlawan mereka yang sesungguhnya. 

Bagi kami kenangan 1998 adalah mimpi buruk yang terlalu sering kami impikan. Ingatan tersebut menembus pikiran kami setiap hari seperti kejadian kemarin sore. Apalagi keluarga korban? 

Pada hari ini kerusuhan yang melanda hampir di seluruh negeri ini merupakan cerita yang sudah memasuki umur 10 tahun, saat ini saya akan mencoba flash back untuk kejadian yang ada di Palembang pada saat itu  dengan di ceritakan dengan gaya aku :

 Senin, 11 Mei 1998
  • Semua Senat  yang ada di setiap Universitas pada saat itu mendapat undangan untuk melakukan demo ke kantor DPRD Tk 1, kalau tidak salah pada siang harinya di adakan rapat koordinasi di Unsri Bukit (karena saat rapat tidak ikut).
  • Banyak perwakilan dari mahasisiwa yang datang baik dari Unsri Indralaya, Poltek Unsri, PAP, Univ MuhammadiyaUniv IBA, STIE Musi, Unpal, Unanti, STMIK Bidar dan berapa universitas dan lembaga pendidikan lainnya. (Maaf kalau tidak di sebut satu persatu)
  •  Adapun point yang di bahas yaitu mengenai perbaikan ekonomi, pencabutan dwi fungsi ABRI, dan beberapa topic lainnya
 Selasa,  12 Mei 1998

 di Jalan Letkol Iskandar di samping IP  artikel Sripo ( Sumber : http://kawangkoan.multiply.com/ )
  •  Pada pagi hari +/- 8  Wib mahasiswa sudah bersiap di masing kampus dengan menggunakan jaket almamater yang seluruhnya di koordinir oleh koordinator masing-masing.
  • Persiapan lainnya juga di bawa seperti spanduk, karton yang di tulisi dan lainnya semuanya berangkat dengan menggunakan kendaraan bermotor tetapi ada juga yang berangkat ke kantor DPRDPropinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan bus kota dan truk.
  • Seampai di sana mahasiswa langsung melakukan orasi  tetapi tidak satupun dari pimpinan yang ada di DPRD yang menenmui pengunjuk rasa dan pada saat itu masyarakat ramai ikut menyaksikan unjuk rasa tersebut dan makin lama makin banyak masyarakat yang berkumpul.
  • Sudah lama berorasi dan tidak ada tanggapan dari pihak DPRD terutama pimpinan maka terpancinglah emosi dari massa maka tidak tau dari mana asalnya batu  pun deras menghantam pintu depan DPRD tersebut dan langsung pecah.
  • Dan tidak di situ saja dengan kekecewaan makan masa pulang kebanyakan berjalan kaki dengan kelompok tadi terbagi 2 kelompok 1 dari gedung DPRD ke Jl Kapt A Rivai dan kelompok 2 menuju Jl. Radial dan massa yang tadi nya  ikut melihat sekarang juga bergerak menjadi barisan di belakang mahasiswa tadi seharusnya saya ikut di kelompok 1 karena kampus kami di arah sana tetapi karena rumah masih di Plaju maka saya ikut kelompok 2 yang mana banyak anak-anak dari UMP yang pulang satu arah.
  • Salah satu Mahasiswa terkapar setelah terjadi bentrok dengan petugas di Jalan Jend Sudirman depan IP  artikel Sripo ( Sumber : http://kawangkoan.multiply.com/ )
  • Tapi siapa sangka ternyata dengan panjangnya barisan ini banyak kejadian yang terjadi batu, kayu banyak yang berterbangan sehingga ruko, kantor dan tempat lainnya yang jadi korban seperti di kelompok 1 Kantor BCA Kapten A rivai kaca depanya banyak yang pecah memecah dan di sepanjang Jl Radial Sohwroom mobil, Ruko menjadi korbannya  bahkan SPBU yang ada di tersebut hamper di bakar massa tetapi dapat di cegah dan berbelok ke Jl Letkol Iskandar, kantor Tour & Travel, Restourant Sari Kuring, dan Rosarum Cindo juga Menjadi korban dan beberapa ruko lainnya juga rusak berat. Melihat kejadian itu aparat tidak tinggal diam dengan menurunkan Pasukan anti Huru Haranya langsung memblokade tepat di simpang 4 IP, saat itu keaadaan mulai mencekan massa banyak melakukan pelemparan batu dan kayu ke aparat, di belakan kawat berdurinya PHH membalas dengan gas air mata dengan tujuan untuk menenangkan masa justru makin kisruh, massa yang sudah tercampur baur bergerak ingin menghancurkan Texas Fried Chiken (Yang berbau AS) tetapi langsung di halangi oleh aparat.
  • Disini yang saya perhatikan bukan mahasiswa lagi yang berbuat justru masyarakat dengan brutalnya melakukan apa yang mereka inginkan, pada saat itu banyak kejadian kerjar-kejaran yang terjadi dan banyak mahasiswa yang kena pukul baik pakai alat maupun tangan kosong dan setelah itu mereka di bawa ke POLTABES di Jl Letkol Iskandar untuk di data.
  • Cerita dari teman-teman yang tertangkap banyak di Tanya macam-macam dan akhirnya +/- 8-10 malam meraka di lepaskan dengan di antar truck TNI ke kampus masing-masing.
  • Transportasi lumpuh dan keadaan mulai hening, di sekitar masyarakan banyak yang bercerita bahwa kerusuhan yang lebih besar akan meletus kembali, tidak tau benar atau salah karena tidak bisa di tebak 
 Rabu, 13 Mei 1998
  • Sejak kejadian pada 12 Mei mahasiswa banyak menarik diri sambil menunggu berita yang terjadi di Jakarta karena kisruhnya tidak hanya di Jakarta saja tetapi di beberapa kota lainnya.
  • Banyak terlihat di ruko-ruko sejadah dan tulisan Muslim Pribumi, Muslim, dan lain-lain sebagai
  • Sore harinya di dapatkan informasi kalau mahasiswa trisakti mati seperti Elang Mulya dkk tertembak, banyak para akativis mulai mengatur  rencana untuk kesokan harinya .
 Kamis, 14 Mei 1998

Salah satu pelaku pelemparan ruko di Jalan Letkol Iskandar di amankan petugas  artikel Sripo ( Sumber :http://kawangkoan.multiply.com/ )
  • Kabar ini tidak hanya masuk di kampus kami tetapi telah menjadi berita umum sehingga pada pagi harinya sudah banyak mahasiswa yang berkumpul dan melakukan longmarch menuntut keadilan atas kematian rekan mereka.
  • Longmarch masyarakat juga ikut mengiring dan menjadi massa di mana di iringi tuntutan mahasiswa untuk mengusut tuntas kasus penembakan setelah tapi lama kelamaan masyarakat menjadi semakin brutal razia atas etnis cina semakin menjadi razia di lakukan di mana-mana.
  • Di berbagai titik di Palembang menjadi rusuh penjarahan dan penganiayaan tidak terelakan lagi baik di Plaju, Kertapati, Pal 5, Lemabang dan beberapa tempat lainnya, titik api berkobar di mana-mana karena terlihat asap hitam yang membumbung tinggi.
  •  Saya pulang dari kampus karena lumayan jauh dari Univ IBA ke Univ UMP, dengan berjalan kaki karena tidak ada angkot lagi pada saat melintas di Jl Veteran di situ sudah terlihat ada mobil terbakar dan beberapa ruko yang sudah di jebol oleh massa.
  • Pada saat melintas di daerah Jl Kol Atmo kesunian mencekam hanya melihat orang-orang yang berlari sambil membawa barang jarahannya.
  • Setelah di masjid Lama ternyata ruko yang di tengkuruk sebelah jembatan Ampera api sudah berkobar dan banyak masyarakat yang melakukan penjarahan banyak barang yang di jarah seperti alat electronic, makanan dll dan pagar sebelah kiri roboh tidak tau siapa yang merobohkannya, banyak masyarakat yang di angkut menggunakan kendaraan tentara karena tidak ada yang angkot yang jalan.
  • Dan lebih tragisnya yang Saya lihat sendiri pada saat  di turunan jembatan Ampera (Pangkal Jembatan) yang ke arah Plaju/Kertapati di lakukan razia oleh orang-orang dengan memasang batu besar (Bekas marka Jalan dan Pot Bunga) mereka membuka kaca mobil satu persatu jika di anggap etnis maka mobil tersebut akan di lempari dan orangnya di pukuli begitu juga bagi yang bermotor yang menggunakan helm Full Face jika mukanya seperti etnis makan mukanya di hantam dengan batu banyak yang jadi korban dan ada juga yang salah salah seperti orang Komering, Lahat atau Pagaralam karena melihat mukanya seperti etnis cina.
  • Tidak Jauh dari situ ada SupermarkerAmpera (Sekarang jadi Universitas Kader Bangsa)massa banyak yang melakukan penjarahan seperti ada yang mengambil baju, spring bed, makanan, mainan dan lain sebagainnya dan malahan ada yang berusaha membawa brankas, memang suasana saat itu sangat mencekam.
  • Begitu juga di simpang 4 Masjid Muhajirin di sebelah depan ada showroom motor (Sekarang kantor partai)  dan banyak motor yang di jarah oleh massa. Tragis memang
  • Pada saat sampai di depan kampus UMP maka terlihat bekas kendaraan yang telah terbakar dan ban yang masih menyala.
  • Pada malam itu Gubernur Sumatera Selatan pada saat itu H Ramli Hasan Basri dengan nada sedih mengimbau bahwa masyarakat untuk pulang kerumah dan tidak melakukan penjarahan, malam itu di lakukan mirip seperti jam malam aparat dari PHH melakukan razia di setiap jalan utama dengan menggunakan kendaraan roda dua dan panser.
  • Di masyarakat muncul isyu dari orang yang tidak bertanggung jawab dan bahwa akam ada  orang yang tidak di kenal akan melakukan penculikan dan penyerangan kekampung kami sehingga kebanyakan dari warga kami di lingkukan kami melakukan jaga malam untuk mengantisipasi situasi tersebut.
 Jumat, 15 Mei 1998
Jalan Jendral Sudirman di penuhi massa pada jam 13:00  artikel Sripo ( Sumber : http://kawangkoan.multiply.com/ )
  • Sejak kerusuhan kemaren banyak orang tidak melakukan aktivitas seperti biasa karena takut kena imbas dari kerusuhan tersebut pada saat pada saat itu saya mau kekampus tetapi tidak bisa berangkat ke kampus dan tertahan di seputar air mancur  saya lihat sekitar sepi dan terlihat bebrapa aparat yang berjaga-jaga.
  • Dengan kondisi seperti itu saya memutsukan untuk sholat Jumat di Masjid Agung di mana yang jadi Khotib pada saat itu walikota Palembang Bpk H Husni yang di dalam khotbanya agar dapat menahan emosi dan menjaga kondisi kemanan lingkungannya.
  • Selesai sholat jumat  orang-orang mulai mengarah ke Jl Jend Sudirman tidak tahu siapa yang memulai kerusuhan seperti kemaren meletus kembali banyak ruko yang di bakar sepanjang Jl Jend Sudirman sampai dengan Simpang 4 IP, mobil 2 buah yang di bakar, hotel Sintera di bakar dan beberapa ruko lainnya di makan api termasuk ruko di belakan Martabak HAR, masa banyak menjarah studio foto, baju, alat olah raga, alat musik, alat-alat elektronik dll (Karena ruko disana memang di dominasi oleh barang-barang tersebut). Alat alat pertanian dan mesin-mesin diesel karena di sebelah kiri banyak yang bejualan alat-alat seperti itu dan sampai saat ini ruko sisa terbakar tidak di gunakan kembali.
  • Tak lama kemudian aparat (PHH & Brimob) datang dengan pasukan yang penuh dan di bantu oleh PM yang bermarkas di JL Merdeka, banyak para penjarah  yang di bawa ke Kantor PM dengan barang bukti yang di bawa ada kipas angina, kamera, baju dll.
  • Pelemparan Bank Tamara di Jalan Letkol Iskandar   artikel Sripo ( Sumber :http://kawangkoan.multiply.com/ )
  • Massa memang tidak terkendali yang juga memancing kemarahan dari aparat di mana banyak juga massa yang merasakan kerasnya “Stik” aparat sehingga yang saya lihat ada yang kepalanya bocor, kuping berdarah, gigi yang patah dll, dan ada juga yang saya lihat orang yang sudah masuk ke dalam parit terus di pukuli oleh aparat.
  • Penjarahan ini terjadi  sampai pukul 6 sore karena massa yang tidak terbendung maka lalu lintas banyak yang di alihkan ke  arah Musi II bagi yang pulang ke Plaju atau Kertapati.
  • Yang uniknya tempat makan Martabak HAR tidak tutup sama sekali malahan banyak penjara yang makan dan itupun gratis, sepertinya tidak perduli walaupun di belakang rukonya sedang terbakar dan di depan nya massa sedang banyak.
Sabtu , 16 Mei 1998
  • Blokade di atas jembatan Ampera di lakukan ada 3 lapiasan yang harus di tembus dengan memperlihatkan KTP jika tidak berkepentingan kita di perintahkan balik begitu juga saat saya mau ke Kampus malah di suruh balik.
  • Suasana kota saat itu sangat lengang banyak yang menggunakan trasportasi sungai “ketek” untuk menyebrang itupun setelah sampai di seberang harus berjalan lagi.
Minggu – Rabu , 17 – 20 Mei 1998
  •  Gerakan mahasisiwa semakin menjadi dan di Jakarta semakin menghangat sampai Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR.
 Kamis , 21 Mei 1998
  •  Presiden ke II Bpk HM. Suharto meletakan jabatannya dan digantikan dengan Bpk B.J Habibie.
Tidak tahu akhir dari pergantian rezim apakah kemunduran atau kemajuan tetapi banyak yang terjadi si Palembang sejak kerusuhan tersebut :
  •  Angkot yang dulunya bisa sampai jam 24:00 sekarang paling rame hanya ham 21:30 sesudah jam tersebut agak susah.
  • Toko-toko yang ada di Jl Jend Sudirman biasanya bias buka sampai jam 22:00 sekarang ini jam 19:00 dan paling lama 20:00 sudah tutup.
  • Banyak gang dan jalan yang di beri gerbang dan portal apalagi di daerah tersebut banyak etnis cina, ada beberapa tempat di jadikan “One Gate”.
  •  Banyak bangunan yang di renovasi setelah kerusuhan tetapi ada juga tidak (mungkin di anggap sial).
  • Masih banyak lagi perubahan yang terjadi pada masa peralihan ORBA ke Reformasi tetapi sudah di luar pemikiran saya…….
sumber: Dodi NP

Sejarah Pasar 16 Ilir Palembang

Suasana Pasar 16 Ilir di tahun 1970 an sumber : kitlv.nl

Geliat perekonomian 16 Ilir dan sekitarnya sesungguhnya sudah dimulai sejak Kimas Hindi Pangeran Ario Kesumo Abdulrohim memindahkan pusat kekuasaan dari 1 Ilir yang dibakar habis oleh VOC tahun 1659 ke Kuto Cerancang (kini kawasan Beringin Janggut, Masjid Lama dan sekitarnya) pada tahun 1662. Denyut perekonomian itu makin terasa saat cucu Kimas Hindi Sultan pertama Palembang yang bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam yaitu Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo memindahkan keraton ke Kuto Kecik, seiring pembangunan Masjid Agung pada tahun 1738.

Kawasan itu pun menjadi pemukiman tepian sungai, dengan sistem budaya tepian sungai (riverine culture) yang dianut rakyatnya. Sungai Tengkuruk dan Sungai Rendang yang bermuara ke Sungai Musi ersama Sungai Kapuran menjadi "benteng" bagi Masjid Agung dan Keraton Kuto

Kecik menjadi pusat perdagangan kala itu. Rakyat dari hulu dan hilir Sungai Musi membawa hasil alam dan menjualnya di sepanjang tepian sungai ini.

Setelah menaklukkan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1821, Belanda kemudian mengangkat potensi perekonomian di kawasan itu. Dimulailah pembangunan dengan planologi yang "disesuaikan" dengan keadaan semula.

Pasar 16 Ilir tahun 1980 an sumber : Tropenmuseum

Sebagai daerah perdagangan, dibangunlah pertokoan dan perkantoran di sepanjang tepian Sungai Tengkuruk. Seperti lazimnya perkembangan pasar saat ini, perdagangan di Pasar 16 Ilir berawal dari "pasar tumbuh", yang terletak di tepian Sungai Musi (sekarang Gedung Pasar 16 Ilir Baru hingga Sungai Rendang, Jl Kebumen).

Pola perdagangan di lokasi itu, setidaknya hingga awal 1900-an, dimulai dari berkumpulnya pedagang “cungkukan”(hamparan), yang kemudian berkembang dengan pembangunan petak permanen.

Untuk kawasan Pasar Baru (hingga kini masih bernama Jl Pasar Baru) saat itu sudah berderet bangunan bertingkat dua yang di bagian bawahnya menjadi tempat berjualan. Los-los mulai dibangun sekitar tahun 1918 dan dipermanenkan sekitar tahun 1939.

Sementara itu, muara Sungai Rendang menjadi salah satu "dermaga" pilihan perahu kajang (perahu beratap) berlabuh. Perahu, yang sekaligus menjadi tempat tinggal, ini membawa hasil bumi dari daerah di hulu Sungai Musi untuk diperdagangkan di Pasar 16 Ilir. Hal yang sama juga berlaku di Sungai Sekanak. Menurut W.F. Wertheim (1958), Kotapraja (Gemeente) kemudian dilafazkan lidah Palembang sebagai Haminte melakukan beberapa kebijakan pembangunan. Dibangunlah semacam taman di Talangsemut, pusat perdagangan di 16 Ilir, pelabuhan di Sungai Rendang, serta pusat perkantoran di sekitar Benteng dan Tengkuruk.

Pasar 16 dan Mobil yang lalu lalang sumber : Raden M Amin
Kebijakan ini termasuk rencana pembuatan bulevar. Untuk merealisasikan rencana itu, Sungai Tengkuruk ditimbun pada tahun 1928. Di atasnya, dibangunlah jalan dalam dua jalur. Di bagian kiri dari arah Sungai Musi tampaklah jajaran pohon, dan kanannya, bangunan dua tingkat, yang merupakan perkantoran. Kawasan 16 Ilir sebagai pusat perekonomian tampaknya semakin "hidup". Apalagi saat terjadi rubberboom sekitar tahun 1912 dan 1915, orang-orang di Keresidenan Palembang (masuk seluruh daerah di Sumsel) demikian mudahnya membeli mobil. Peningkatan kemakmuran makin menjadi setelah tahun 1920. Dalam tahun 1920, mobil pribadi belum sampai 300 buah. Tetapi, pada tahun 1927, jumlahnya meningkat sampai 3.475 buah. Mobil ini terdiri atas berbagai mereka, antara lain Ford, Albion, Rugby, Chevrolet, dan Whitesteam (Djohan Hanafiah: Dicari, Walikota yang Memenuhi Syarat: 2005).
Betapa makmurnya para toke para dan pebisnis masa itu tampaknya menjadi "wajah" Pasar 16 Ilir. Berita di Pertja Selatan, 17 Juli 1926, tertulis bahwa di kawasan Sungai Rendang, telah berdiri show room mobil Ford. Bahkan, penjual mobil pun telah memakai surat kabar sebagai sarana promosi dalam bentuk iklan. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu zaman kemerdekaan, geliat perekonomian makin tampak di kawasan ini. Antara lain, menurut kesaksian lisan beberapa orang yang hidup pada masa itu, keberadaan beberapa bank di Jl Tengkuruk. Yaitu, Nederland Indische Bank, Bank Esconto, Chinese Bank, Bank Ekonomi, dan Bank Indonesia. Di dekat Bank Indonesia, ada Kantor Listrik yang bersebelahan dengan Kantor Pajak. Di dekat Chinese Bank, berderat pula bangunan bernama Cuan Ho, yaitu semacam usaha jasa angkutan (ekspedisi). Perusahaan ini mengangkut barang dari Boombaru ke Pasar 16 Ilir. Pada masa ini, dikenallah kuli king, yaitu orang-orang Tionghoa yang bertubuh tegap dan kuat. Di dekatnya, terdapat Toko Dezon, atau toko matahari menurut sebutan wong Plembang. Di bagian tepi Sungai Musi, terdapat dua dermaga. Yaitu, dermaga perahu tambangan di bagian hilir dan Dermaga Kapal Marie di bagian hulu (saat ini, lokasinya di bawah Jembatan Ampera).

Pasar 16 Ilir sumber : Raden M Amin
Tingginya tingkat perdagangan, juga terlihat dari sejarah pemindahan pelabuhan di Palembang pada masa penjajahan Belanda. Juga catatan mengenai banyaknya kapal yang keluar masuk lewat Sungai Musi ke kota ini. Seiring kejatuhan Kesultanan Palembang Darussalam, Belanda membangun pelabuhan yang dinamakan Boom Jeti di depan Benteng Kuto Besak (sekarang Perbekalan dan Angkutan [Bek Ang] Kodam II Sriwijaya). Sebelumnya, sudah ada pelabuhan di kawasan 35 Ilir. Tahun 1914, pelabuhan dipindahkan ke muara Sungai Rendang (kini dikenal sebagai Gudang Garam). Dengan alasan pelabuhan tidak mampu lagi menampung kapal yang keluar masuk, Belanda kembali

memindahkan pelabuhan ke kawasan di antara Sungai Lawang Kidul dan Sungai Belebak. Pelabuhan yang dikenal sebagai Boom Baru ini ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda lewat Staadblad No. 545 Tahun 1924. Kala itu, panjang dermaganya sekitar 250 meter dan dilengkapi dengan Kantor Doane atau Bea Cukai terapung. Sebagai perbandingan, perkembangan perdagangan berskala ekspor dan impor di Palembang dapat dilihat dari total jumlah kapal yang beraktivitas serta banyaknya barang di dua pelabuhan itu pada dua masa berbeda. Pada tahun 1880, kapal yang beraktivitas di Boom Jeti sebanyak 177 unit dengan volume barang sejumlah 30.330 meter kubik (sekarang, satuan yang dipakai adalah TEUS). Sementara tahun 1929, jumlah kapal mencapai 1.559 unit dan barang sebanyak 4.050.408 meter kubik.Semua barang yang diangkut kapal berbendera Hindia Belanda, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Norwegia, Swedia, Denmark, dan Italia itu sebagian besar dipasarkan di Pasar 16 Ilir. Ini merupakan salah satu faktor yang membuat pesatnya perkembangan kawasan ini.

Sejarah Rumah SUSUN Palembang


MUSIBAH kebakaran yang terjadi pada Agustus 1981 menimbulkan dampak yang cukup besar pada wajah kota ini. Sebanyak empat kampung tradisional masyarakat lenyap dari permukaan Bumi Sriwijaya ini. Peristiwa ini, paling tidak, juga telah mengubah pola hidup Wong Pelembanglewat perkenalan dengan rumah bertingkat-tingkat yang di sebut rumah susun (Rusun). Kawasan pertokoan Internasional Plaza (IP) hingga ke IBP paling tidak hingga awal 1980-an, belum memiliki jalan aspal, sementara IP, ketika itu masih merupakan Bioskop Internasional dengan beberapa toko disekitarnya. Di ujung jalan (tanah merah keras) dari Internasional terdapat Pasar Mambo yang dibuka pada malam hari.

Saat ini, bangunan di sekitar kawasan itu umumnya baru kecuali toko foto – copy Remifa. Penghubung kawasan Cinde Welan (Candi Walang) adalah Jl Candi Walang, yang di mulai dari Jl. Jend. Sudirman — Kebon Duku — hingga tembus ke belakang Pasar Cinde saat ini. Di kawasan 24 Ilir itu pula, terdapat Sungai Candi Walang (kini telah ditimbun). Kawasan Candi Walang, ketika itu posisi tanahnya menanjak. Bahkan jauh sebelum itu, pada masa Kesultanan Palembang hingga masa penjajahan Belanda, kawasan ini posisi tanahnya menanjak hingga ke RS RK Charitas saat ini. Karena pembuatan jalan dan sebagian pemukiman, dataran tinggi itu “dipangkas” hingga posisi tanahnya tampak seperti saat ini.

Sebagian kawasan, masih berupa rawa dan aliran sungai. Dengan topografi seperti itu, sebagian besar rumah di kawasan ini berbentuk panggung berbahan kayu. Kondisi ini, paling tidak, dapat kita saksikan dalam karya pelukis asal Sumsel Amri Yahya, yang berjudul Sungai Limbungan (1954). Lukisan bermedia cat minyak di atas kanvas berukuran 80×50 cm itu menggambarkan suasana Sungai Limbungan (sekarang kawasan Rusun). Lewat lukisan ini dapat di lihat kondisi “almarhum” Sungai Limbungan yang dahulu dapat dilalui perahu dan kini menjadi “sarang nyamuk” itu. Paruh awal 1980-an, Sungai Candi Walang dapat dimasuki perahu. Bahkan, masih terdapat banyak buaya di sungai itu.

Menurut beberapa warga yang berdiam lama dikawasan ini, sepanjang tepian Sungai Candi Walang, masih ditumbuhi pohon para (karet) dan pohon kemang. Saat menyusuri sungai di kawasan Bank Mandiri saat ini. Buaya besar berlumut sering muncul bergaya “kalem” itu diyakini sebagai Raden Tokak. Ini merupakan salah satu tokoh legenda dalam cerita rakyat Palembang yang konon dapat muncul se waktu-waktu. Bahkan, hingga kini pun. Dengan “wilayah kekuasaan” dari 35 Ilir sampai Sungai Sekanak, masyarakat Palembang masih sering melihat penampakannya.

Kampung Yang Hilang

Salah seorang saksi mata dalam kebakaran yang terjadi pada Agustus 1981, H. Mouthalib Adams menggambarkan, peristiwa kebakaran itu sangat tiba-tiba dang begitu mengejutkan. “Saat itu, pukul 09.00 WIB, saya sedang memfotocopy. Tiba-tiba, saya dengar ada yang mengatakan kebakaran. Begitu sampai di rumah, api telah membesar,” kata Mouthalib, yang saat itu bekerja di Radar Selatan. Api berasal dari salah satu rumah di Gg Buntu, yaitu bedeng pembuat kasur. Api dengan demikian cepat menjalarnya dengan pola menyebar tak hanya kawasan 24 Ilir yang terkena. Api merambat cepat ke 23 Ilir, 22 Ilir, dan 26 Ilir. Pola rembetan api memanjang di kawasan 26 Ilir membuat repot petugas pemadam kebakaran. Kepanikan warga akibat musibah itu, tidak dapat digambarkan lagi. Karena cepatnya api menjalar, Try Sutrisno yang saat itu menjabat Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) IV — kini Kodam II — Sriwijaya, membuat “blok” dengan menjatuhkan bom di dua titik kebakaran kawasan 26 Ilir. “Begitu bom dijatuhkan, lokasi kebakaran langsung langsung terpecah dan rembetannya dapat di cegah,” kata Mouthalib. Penggunaan bom untuk pemecah api ini, mengingatkan pada penggunaan TNT (2,4,6-trinitron toluena) yang dipakai Polda Sumsel saat membantu memudahkan pemadaman api dalam “tragedi Heppi.”

Selain menjatuhkan bom, sebagai upaya mempercepat pemadaman api juga dilakukan dengan membongkar dan merobohkan beberapa rumah. Salah satunya rumah limas yang kini berada di salah satu sisi blok Rusun. Api baru dapat dijinakkan sekitar tengah malam. Saat itu, diperkirakan lebih dari 400 unit rumah hangus. Meskipun tak ada korban jiwa, yang jelas empat kampung ludes dari permukaan tanah. Hilanglah empat kampung tradisional Palembang. Sebagian dari kampung itu, kini berubah menjadi “kampung modern” dengan rumah tinggal bersusun-susun.