Senin, 22 Oktober 2012

sejarah dan Keunikan Pasar Tradisional Cinde


Terlengkap, Baru Hingga Bekas, “Panas” dan “Dingin”
Pasar Cinde yang berada di jalan Sudirman merupakan salah satu pasar tertua di Palembang. Sebagai pasar tradisional, pasar yang satu ini mempunyai keunikan tersendiri. Seluruh jenis barang tersedia. Yang baru, bekas, yang “panas” hingga yang “dingin.”
Bicara soal pasar tertua, pastilah tertuju pada pasar 16 Ilir. Posisinya di pinggiran sungai Musi, berada di tengah antara hilir dan hulu sungai, sangatlah strategis. Tempat transit, para pendatang dari kawasan Sumsel hingga mancanegara. Sehingga, pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam, pasar yang satu ini, bisa jadi sudah ada. Meski, baru dibangun permanent pada masa pemerintahan Belanda.
Nah, selain pasar 16 Ilir, salah satu pasar tertua di Palembang adalah pasar Cinde. Pasar ini, diperkirakan muncul usai zaman kemerdekaan ketika transportasi darat mulai maju. Pasar yang terletak di poros jalan Sudirman ini, dulunya diingat dengan nama pasar Lingkis. Ini karena awal berdirinya, banyak orang daerah Lingkis Ogan Komering Ilir (OKI) menggelar dagangan.
Munculnya pasar Lingkis ini, dikatakan Kemas Aripanji SPd MSi, Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumsel sekedar pasar pelengkap. Artinya, ketika jumlah masyarakat Palembang terus bertambah, sedangkan pasar 16 Ilir sulit menampung pengunjung, muncullah pasar kaget alias dadakan.
“Palembang itu terus berkembang. Masyarakat tidak mungkin bertumpu pada satu pasar, yakni pasar 16. Mereka pasti mencari pasar terdekat. Pasar Cinde inilah yang muncul sebagai pasar dadakan dan kategorinya sekedar pelengkap,” ungkap Aripanji yang juga guru serta dosen di MAN 1 serta Fakultas Adab IAIN Raden Fatah.
Dari pasar kaget yang terus berkembang, pemerintah kemudian memfasilitasi pembangunan pasar secara permanent. Diperkirakan, pasar ini dibangun tahun 1958, sebagai pasar pertama usai kemerdekaan. Arsiteknya, Herman Thomas Karsten. Pasar Cinde pun disebut-sebut sebagai kembaran pasar Johar Semarang yang juga dirancang Karsten.
Sejak dibangun permanent, nama pasar Lingkis berubah menjadi Cinde. Nama Lingkis sendiri kini diabadikan sebagai nama lorong di seberang pasar Cinde. Sedangkan nama Cinde, berasal dari makam Sultan Abdurahman, pendiri Kesultanan Palembang. Makam inilah yang disebut dengan Candi Welan/Walang. Dari kata candi ini juga,masyarakat menyebutnya dengan nama Cinde. Sehingga disebut dengan pasar Cinde.
Dengan gedung dua lantai di pasar Cinde, masyarakat bisa mencari tempat penjualan peralatan militer, pramuka, bordir. Atau penjualan kue, empek-empek, kerupuk kemplang, kebutuhan pertanian serta kebutuhan sembako sehari-hari.
Berkembang Tempat PSK Hingga Pasar Loak
Sisi lain dari pasar Cinde yang kini tak kelihatan lagi, adalah kawasan tersebut merupakan tempat mangkal Pekerja Seks Komersil (PSK). Wanita-wanita malam ini kerap mangkal di Jl Candi Welan yang dulunya banyak semak belukar. Itu terjadi pada era tahun 1970 an. PSK ini mulai menghilang teratur, ketika mereka mulai hijrah ke Eks Lokalisasi Teratai Putih Kampung baru yang dulunya merupakan tempat legal (resmi, red).
Hanya saja, entah sejak kapan dimulai, sejak lama pasar Cinde juga dikenal sebagai pasar loak. Banyak barang-barang bekas dijual di pasar ini. Barang bekas atau loak ini berada di sepanjang Jl Candi Welan, Karet, Raden Muhammad, Nangling serta lrg Kebon.
Identiknya memang pada barang elektronik. Seperti mesin jahit, pisau silet, AC, mur baut, jam dinding, aksesoris mobil motor hingga spare partnya. Dan kebanyakan barang second. Tapi ada juga terlihat penjual sepatu bekas. “Pokoknyo segalo macam barang yang bekas dan biso dijual, itu dijual di sini (pasar Cinde, red),” celetuk David (45), salah seorang pedagang.
Saking terkenalnya pasar Cinde di kawasan Sumsel hingga kota besar seperti Jakarta, banyak orang cerita David memesan terlebih dulu barang diinginkan. Seperti lemari jati lama, tempat sirih hingga lampu lama terbuat dari kuningan. Setelah dipesan, penjual kemudian bergerak di pedesaan kawasan Sumsel untuk mencari barang.
“Barang-barang seperti onderdil motor, mobil, genset lama kadang memang disimpan pedagang. Biasanya, ada orang mencari barang tersebut karena tidak lagi dijual di toko dan pasti mencari ke Cinde,” ungkap David.
Hanya saja, selain barang bekas, banyak juga pedagang menjual barang baru. Membuat pengunjung tinggal memilih sesuai isi kantong. Pada hari Minggu pagi, jumlah pedagang di kawasan pasar loak ini bertambah ramai. Seluruh pedagang dari penjuru Palembang tumblek di sini.
”Kalau minggu pagi, seluruh dagangan itu tambah lengkap lagi,” tambah Eddy (54), salah satu penduduk lokal.
Pun begitu, sejak dulu juga pasar Cinde identik dengan barang curian. Ada-ada saja pedagang atau pembeli yang harus berurusan dengan pihak berwajib. Oleh sebab itu, pengunjung pun harus berhati-hati agar mendapat barang “dingin” bukanya barang “panas.”
Untuk mencegah berurusan dengan polisi, sebelum membeli barang, pedagang memastikan lebih dulu identitas penjual. Termasuk surat-surat diperlukan seperti STNK atau BPKB kendaraan yang tidak lagi terpakai sebelum dipreteli. Inilah satu kiat pedagang bertahan.
“Kalau barang curian itu dak ada. Kami selalu memastikan dulu identitas penjual termasuk surat menyuratnya. Kami (pedagang,red) disini kebanyakan mantan preman insyaf. Cuma mencari rejeki halal be. Kalu pacak, sekedar jual hawo (ngobrol,red) dapat duit,” tandas David.
Wajah lama dari pasar Cinde, tepatnya di Jl Karet mungkin terkenal dengan penjualan CD porno yang kerap di razia petugas. Di tempat ini juga, saat ini terlihat pasar burung. Khusus menjual burung-burung hias. (wwn)
Written by: Samuji Selasa, 15 November 2011 12:06 | Sumeks Minggu

Pasar Cinde 1935
Pasar Cinde 1935
Terminal Cinde 1935
Terminal Cinde 1935
Pasar Cinde 1935
Terminal Cinde 1935
Terminal Cinde 1935
Pasar Cinde 1935

Lagenda Raja Buaya


Lagenda Raja Buaya
Sumatera Selatan, sebagai daerah yang dipenuhi rawa-rawa dan dilewati banyak sungai, memiliki populasi yang cukup banyak dan penampakan buaya merupakan hal biasa. Bahkan di kalangan masyarakat dikenal pula ilmu buaya. Yakni ilmu hitam, yang mana pemiliknya akan berubah menjadi buaya kalau sudah meninggal dunia.
Di tepian Sungai Musi, Palembang, banyak legenda mengenai buaya yang diceritakan turun temurun, salah satunya legenda buaya putih. Beberapa tempat yang diyakini tempat munculnya buaya putih adalah di aliran Sungai Ogan, seperti di bawah jembatan Ogan, Kertapati, Palembang dan lokasi pedalaman sungai Ogan. Munculnya buaya putih ini diyakini selalu menjadi pertanda akan terjadi bencana besar di Sumsel atau di Indonesia.
Demikian juga warga di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel. Mereka sangat percaya dengan legenda-legenda mengenai buaya. Sebagian besar warga Pemulutan percaya, nenek moyang mereka adalah buaya. Sebab ilmu buaya banyak dikuasai masyarakat Pemulutan dan ada yang menjadi pawang buaya. Banyak warga Pemulutan yang dapat berubah menjadi buaya jika masuk ke dalam sungai atau rawa. Ini adalah ilmu hitam yang biasanya dikuasai para bandit.
Di masyarakat Palembang juga ada kisah/legenda menarik dari abad ke-16. Saat itu raja Palembang bingung bagaimana mengatasi buaya-buaya yang berada di Sungai Musi. Buaya-buaya itu ganas dan dapat membuat warga terancam nyawanya. Lalu, sang raja mendatangkan seorang pawang buaya dari India. Dengan janji akan memberikan banyak hadiah, sang raja meminta si pawang menjinakkan buaya-buaya di sungai Musi. Buaya-buaya itu pun jinak. Si pawang pun menerima banyak hadiah.
Kemudian raja mengajak sang pawang ke daerah pedalaman yang banyak buayanya. Kembali pawang itu menaklukkan buaya-buaya menjadi jinak. “Coba kau buat buaya-buaya itu kembali menjadi ganas. Aku mau tahu bagaimana kehebatan ilmumu?” kata sang raja.
Pawang yang sudah mabuk pujian itu kemudian membuat buaya-buaya itu menjadi ganas. Ayam dan ternak yang dilempar ke sungai dengan cepat dimakan buaya. Dan, ketika si pawang lengah, seorang prajurit kerajaan Palembang mendorong pawang ke gerombolan buaya. Tak ayal si pawang itu mati dimakan buaya. Lokasi terbunuhnya pawang itu diperkirakan di pesisir timur Sumatera Selatan, seperti Pulaurimau, atau di kawasan Pemulutan.
Kalau pawang ini tidak dibunuh, saya khawatir dia dapat mempermainkan kita. Atau, kalau dia tidak senang dengan kita, buaya-buaya di sungai Musi dibuatnya menjadi ganas lagi, kata sang raja.Oleh karena itu, tidaklah heran, buaya di sungai Musi dengan buaya di daerah pedalaman Sumatra Selatan berbeda karakternya. Di sungai Musi tidak ada buaya yang bersifat ganas, meskipun saat ini sudah jarang terlihat, berbeda dengan daerah pedalaman yang terkenal dengan buayanya yang ganas-ganas.